Rabu, 10 Juni 2009

Mendudukkan Makna Ummah


Selayang Pandang
Ummah, istilah yang masuk dalam bahasa Indonesia dengan sebutan umat, merupakan konsep yang sudah sangat akrab dalam kehidupan masyarakat kita. Akan tetapi, sayangnya, sering kali dipahami secara keliru dalam pengertiannya. Barangkali karena terlalu dekatnya dengan masyarakat, istilah ini jadi terabaikan dan tidak dianggap sebagai pengertian yang ilmiah. Padahal, orientalis Montgomery Watt dan Bernard Lewis, membahas term ini secara serius dalam
tulisan-tulisannya..
Umat, dalam Ensiklopedi Indonesia, setidaknya mengandung empat macam pengertian, yaitu: (!) bangsa, rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan, (2) penganut suatu agama atau pengikut Nabi, (3) khalayak ramai, dan (4) umum, seluruh, umat manusia.Dalam terminology Islam, istilah “ummah” adalah sebuah konsep unik yang tidak ada padanannya dalam
bahasa-bahasa Barat. Kata ummah berasal dari amma-yaummu yang
berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari kata inilah, lahir beberapa kata
lain seperti umm, yang berarti “ibu” dan imam, yakni “pemimpin”.
Bila dicermati dengan teliti, keduanya sebenarnya memiliki persamaan yaitu
sama-sama tumpuan pandangan teladan, dan harapan bagi anggota masyarakat.
Dalam al-Qur’an, kata ummah dan jamaknya umam disebutkan sebanyak 64 kali, 52 kali diantaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad) dan digunakan untuk berbagai pengertian. Sebagian besarnya termasuk ayat-ayat Makkiyah, sedangkan dalam ayat-ayat Madaniyah hanya 17 kali yang disebutkan dalam al Qur’an. Hampir semua kata ummah dalam ayat-ayat Makkiyah berarti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi dalam sejarah. Selain itu, kata ummah juga dapat
menunjukkan kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin,
orang-orang kafir dan manusia seluruhnya.
Kalangan pemikir politik dan orientalis Barat mencoba memadankan kata ummah dengan kata nation (negara) atau nation-state (Negara-kebangsaan). Namun padangan ini dianggap tidak tepat untuk mewakili makna ummah dalam terminologi Islam. Bahkan terakhir, kata ummah dipaksa dipadankan dengan istilah community (komunitas). Term inipun, lagi-lagi tidak tepat untuk disamakan dengan term ummah. Menurut Abdur Rasyid Meton, guru besar ilmu politik Universitas Islam Internasional, Malaysia, terlalu menyederhanakan makna, bila membuat persamaan antara kata ummah dan community.

Ummah, Bukan Komunitas atau Nasionalisme

Menurut beliau, ada perbedaan prinsip antara kedua istilah ini. Komunitas adalah suatu kelompok masyarakat yang mempunyai perasaan bersama dan memiliki identitas komunal. Identitas komunal di sini maksudnya, kesamaan yang timbul dari unsur kekerabatan, kesamaan budaya, kesamaan wilayah, darah, suku atau kebangsaan, atau gabungan dari semua itu. Sedangkan ummah sama sekali tidak disandarkan atas dasar persamaan ras, bahasa, sejarah, wilayah geografis atau gabungan dari semuanya.
Ummah sifatnya universal, meliputi seluruh kaum muslimin, yang disatukan oleh ikatan ideology yang kuat dan komprehensif, yaitu Islam. Ummah adalah salah satu unsur penting dalam rangka mengaktualisasikan perintah-perintah Allah s.w.t, agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Karena ummah dilandasi semangat universalitas Islam yang tinggi, maka tidak dibenarkan pola nasionalisme yang sempit. Karena nasionalisme hanya menganggap tanah, wilayah, ras, darah dan semisalnya sebagai
pengikat di antara manusia. Sehingga jangkauannya akan sangat sempit, terbatas
pada wilayah-wilayah tertentu. Di samping itu juga, mudah terjadi perselisihan atau perbedaan antara ummah satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian, yang terjadi bukan lagi persatuan, namun sebaliknya justru perpecahan, ta’ashhub dan peperangan.
Esensi Ummah
Pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (al-Qur’an) . Singkatnya, anggota ummah diikat oleh Islam. Ini yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lain.
Kedua, Islam yang memberikan identitas pada ummah dan mengajarkannya semangat universalisme. Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia seluruhnya adalah sama. Tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan manusia lain, kelompok satu dengan kelompok lain, kecuali ketaqwaan (Q.S. al Hujurât/49: 13). Oleh karenanya, Islam tidak mengenal adanya kelas sosial, kasta, warna kulit, bahasa sebagai pembeda antara manusia. Konsekuensinya, Islam menolak unsur pembatas-pembatas umat, apapun namanya.
Ketiga, karena sifatnya yang universal, dengan sendirinya ummah juga menyatukan antar anggotanya dalam hubungan organik. Dalam sebuah hadits disebutkan, umat merupakan satu tubuh yang utuh. Bila salah satu organnya sakit, yang lain pun ikut merasakan sakitnya. Bahkan, hubungan ini dapat mengalahkan hubungan darah dalam keluarga, lantaran tidak beriman kepada Allah. Saudara seiman, lebih mulia daripada saudara kandung tapi kafir. (Lihat: Q.S. al Hujurât/49: 10).
Keempat, atas dasar inilah, Islam berbeda dengan ajaran kolektivitas komunisme dan individualisme kaum kapitalis. Satu sisi, Islam memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk mencari harta sebanyak-banyaknya. Namun di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa dalam harta individu tersebut terdapat hak-hak orang lain (Q.S. al Ma’ârij/70: 24-25). Karenanya, Allah mewajibkan setiap hambanya untuk menunaikan zakat dan menganjurkan shadaqah sebagai salah satu langkah pemerataan ekonomi dalam masyarakat.





Umat Terbaik

كان الناس أمة واحدة فبعث الله
النبيين مبشرين و منذرين….
“Awalnya, manusia merupakan satu umat, kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan……………(Q.S. Al Baqarah/ 2: 213)
Menurut Ibnu Abbas, antara Nuh a.s dan Adam a.s selisih sepuluh abad lamanya. Selama berabad-abad itu, manusia terus menjalankan syariat Allah s.w.t dengan benar. Hingga, pada akhir abad sepuluh, umat Islam terjadi perselisihan dan pertikaian. Maka Allah mengutus nabi Nuh dan nabi-nabi lain sebagai pemberi peringatan dan khabar gembira.
Saat terjadi perselisihan dan pertikaian, Allah s.w.t terus mengutus para nabi dan rasul, hingga sampai pada masa Nabi Muhammad s.a.w, nabi terakhir, penutup akhir zaman. Pada masa ini, manusia pecah menjadi 73 umat (kelompok), dan umat Islam adalah sebaik-baik umat dan mulia di sisi Allah (H.R. Tirmidzy, menurutnya hadits ini hasan).

كنتم خير أمة أخرجت للناس……
“Kalian adalah sebaik-baik ummat diantara umat manusia…………… “
(Q.S. Ali Imran: 110)
Munurut Abu Hurairah, umat Islam adalah umat yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia dengan syariat islamnya. Namun Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat 110 surat Ali Imran ini, lebih cenderung berpendapat, yang dimaksud ummat dalam ayat ini adalah mereka yang hijrah pertama kali dari Makkah ke Madinah dan orang-orang yang bersaksi pada perjanjian Hudaibiyah.
Imam Mujahid memberikan komentar dalam menafsirkan ayat ini, menurutnya, umat Islam hanya dapat menyandang predikat khairu ummah apabila menjalankan ta’murûna bil ma’rûf wa tanhauna ‘anil munkar, yang disebutkan setelah kalimat kuntum khairu ummah dalam ayat tersebut. Sehingga, bila umat Islam tidak
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, gelar khairu ummah, sekali-kali
tidak dapat disandangkan.
Dengan demikian, untuk menjadi umat yang terbaik, umat Islam tidak hanya bergantung pada simbol-simbol keislaman belaka, tapi juga harus disertai dengan aksi (amar ma’ruf dan nahi munkar) yang menunjukkan jati dirinya sebagai seorang muslim. Akhirnya, manfaat syariah Islam memang benar-benar dapat dirasakan semua manusia dan predikat khairu ummah dapat dibuktikan kepada dunia.




Daftar Pustaka

• Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad al Anshary, Tafsir Al Qurthuby, (Kairo: Dârul Kitâb al ‘Araby Litthaba’ah wan Nashr, 1967), Jilid 4.
• As Syaukâny, ‘Ali bin Muhammad, Fathul Qadîr, (Beirut: Dârul Ma’ârif, 1997), jilid 4.
• Iqbal, Drs. Muhammad, M.Ag., Fiqh Siyasah:Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2001).
• Katsir, Ibnu, Tafsirul Qur’anil ‘Adhim, (Beirut: Maktabatul ‘Ashriyyah, 2000), Jilid. I, hal. 241
• Shadili, Hasan, Pemimpin Redaksi, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1980), Jilid 6.
• Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996).

Islam dan Koalisi

Akhir-akhir ini di penghujung tahun 2008 timbul wacana koalisi antara parpol-parpol Islam, bahkan yang lebih fenomenal, wacana diperlukan adanya fusi beberapa partai untuk disatukan dalam satu wadah partai, guna mengembalikan citra politik Islam yang mana saat sini semakin jauh dari nilai dan norma keislamannya. (Jawa Pos Jumat 19 Desember 2008). Namun wacana ini tak selalu direspon positif oleh berbagai kalangan. KH. Hasyim Muzadi contohnya. Dia bersikap pesimistis dengan ide adanya koalisi ini yang disebut sebagai koalisi Poros Tengah jilid II. Beliau tampaknya setuju saja kalau memang ada figure atau tokoh yang dapat diterima semua kalangan.
Membicarakan politik Islam sebenarnya bukanlah diskursus baru dalam kajian ilmu sosial politik, terutama di Negara kita. Fenomena politik ini dapat kita lihat dengan bermunculannya partai-partai berhaluan Islam yang sebenarnya secara substansial mengusung kepentingan yang beragam, dan berangkat dari komunitas Islam yang beragam pula.
Kemudian dalam progresifitas dengan segala problem dan kepentingan yang melingkupi masing-masing partai, politik Islam dewasa ini mulai terdistorsi menjadi ajang pertarungan ideology kelompok dalam Islam yang diusung oleh masing-masing partai dengan melegitimasi agama dalam setiap manuver-manuver yang dilancarkan untuk menyerang partai Islam lain-yang mana secara tidak langsung sebenarnya menjadi boomerang bagi "Islam" sendiri. Alih-laih, akhirnya masyarakat Islam yang berharap agar aspirasi mereka terakomodir dan berharap dapat bebas dari penjara marginal yang di-diskriminasi oleh system atau kepentingan penguasa, mulai berbelok arah, menentukan sikap lain yang merugikan Islam secara politis dan sosialnya ke depan.
Dengan sikap masyarakat seperti inilah, kelompok-kelompok sekuler menemukan moment baru guna meruntuhkan jargon Islam yang sangat popular ketika berbicara Islam dalam politik: "Islam adalah agama dan Negara" (Al-Islam huwa Al-Diin wa Al-Daulah). Mereka mulai melancarkan gerakan de-Islamisasi politik (memisahkan Islam dari politik) dengan mengembangkan berbagai asumsi serta menyelenggarakan kajian-kajian social berkaitan dengan realita politik dalam Islam dewasa ini dan penerbitan berbagai buku yang berkaitan dengan hal ini. Sebagai contoh kajian-kajian yang diusahakan oleh comunitas 'Utan Kayu' atau Paramadina tentang konsep khilafah atau penerbitan buku-buku yang di antaranya Beyond Belief karya Robert N. Bellah guru dari Nur Cholis Madjid (Dalam buku ini Robert N. Bellah mengungkapkan sikap Islam dalam aspek social dan politik sebagai kajian sosiologi agama, yang kemudian menjustifikasi Islam secara histories sebagai agama yang kurang representative).
Akhir-akhir ini di penghujung tahun 2008 timbul wacana koalisi antara parpol-parpol Islam, bahkan yang lebih fenomenal, wacana diperlukan adanya fusi beberapa partai untuk disatukan dalam satu wadah partai, guna mengembalikan citra politik Islam yang mana saat sini semakin jauh dari nilai dan norma keislamannya. (Jawa Pos Jumat 19 Desember 2008). Namun wacana ini tak selalu direspon positif oleh berbagai kalangan. KH. Hasyim Muzadi contohnya. Dia bersikap pesimistis dengan ide adanya koalisi ini yang disebut sebagai koalisi Poros Tengah jilid II. Beliau tampaknya setuju saja kalau memang ada figure atau tokoh yang dapat diterima semua kalangan.
Berangkat dari sini, politik Islam yang seperti apa, sehingga benar-benar merepresentasikan sikap politik Islam? Dan koalisi bagaimanakah yang sebenarnya dapat menaungi semua parpol yang mengusung kepentingan yang berbeda-beda? Berangkat dari dua pertanyaan di atas, artikel ini mencoba mengungkapkan substnasi dari politik Islam yang selama ini didengungkan di mana-mana dan mencoba mengkaji, perlukah adanya koalisi antara parpol-parpol berbasis Islam atau bahkan fusi, seperti pada masa orde baru.

Substansi Politik Islam
Politik Islam dalam pengertiannya adalah, suatu tatanan pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan umat, baik yang berkaitan dengan urusan nasional dari masyarakat itu sendiri atau urusan yang berkaitan dengan hubungan internasional, yang sesuai dengan konsep syari'ah. Pengertian ini mengacu dari berbagai definisi yang di ungkapkan oleh para pakar dan ilmuwan Islam, di antaranya Prof. DR. Yusuf Qordhowi. Beliau mengartikan politik Islam (siyasah al-syar'iyyah) dari sisi pengertian umum (makro), seperti definisi di atas, dan dari sisi pemaknaan secara khusus yaitu, kebijakan yang di ambil dan dikeluarkan seorang pemimpin yang direpresentasikan dalam bentuk hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan untuk menanggulangi kerusakan yang sedang terjadi atau untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan atau memberikan solusi pada sebuah kasus tertentu (Prof. DR. Yusuf Qordhowi.Al-Siyasah Ak-Syar'iyyah. Maktabah Wahbah Cairo 1998. hal. 32).
Dari beberapa definisi dan pengertian di atas, politik Islam yang seharusnya diperjuangkan, adalah warna politik yang merefleksikan syari'ah. Imam Syafi'I menyatakan dengan tegas, bahwasanya tiada politik kecuali politik (strategi kebijakan) yang sesuai dengan syara'. Politik dalam Islam sendiri harus memperhatikan tiga asas sebagai landasan operasionalnya, yaitu maslahah 'ammah (kebijakan yang mengarah pada kemaslahatan umum), keadilan bagi semua kalangan, dan pemutusan suatu problem umat dengan metode syuro (musyawarah) guna mencari solusi yang relevan. Jadi apapun bentuk atau system politik yang dianut oleh suatu Negara, ketika memang memandang asas-asas di atas adalah strategi politik yang syar'I, (Lihat Siyasah Al-Syar'iyyah. Prof. DR. Yusuf Qordhowi. Hal.35) karena secara substansial syari'ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah merealisasikan maslahah atau kebijakan yang adil, yang mana tidak merugikan berbagai pihak.

وإن حكمت فاحكم بينكم بالقسط ان الله يحب المقسطين (المائدة : 42)

Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS. Al-Maidah: 42)

ياأيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسك شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين إن يكن غنيا أو فقيرا فالله أولى بهما فلا تتبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا فإن الله كان بما تعملون خبيرا (النساء : 135)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa. Lihat Tafsir Jalalain. Vol 2, hal, 135) kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. ( QS. An-Nisa: 135)
Ketiga asas itu pun belum cukup untuk memberikan identitas politik Islam. Karena dalam politik dan kekuasaan tidak lepas dari kebijakan dan hukum atau ketetapan, yang mana perlu adanya metode sebagai pedoman dalam memproduksi kebijakan dan hukum agar tidak timpang.
Metode yang dimaksud adalah konsep pengambilan hokum atau kebijakan yang didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dalil, yang mana nantinya dikenal dengan disiplin ilmu ushul fikih dan maqoshid al-syar'iyyah. Dalam metode ini perlu diperhatikan herarki pengambilan hokum dengan memprioritaskan Al-Qur'an sebagai tendensi awal, kemudian As-Sunnah. Lalu, ketika tidak disebutkan secara jelas (shorih) dalam keduanya, baru menggunakan perangkat ijma' atau analogi(qiyas) terhadap kasus yang ada dalam nash dengan mencari illat (ruh) dalam legislasi awalnya, untuk kemudian dikontekstualisasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Selain itu, masih ada perangkat-perangkat yang lain seperti maslahah mursalah, 'urf atau saddu al-dzaroi'. Perangkat-perangkat dalam metode pengambilan hokum dan kebijakan ini dimaksudkan agar nantinya fungsi yuridis dari hokum yang akan diproduksi tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan tidak menimbulkan ketimpangan ketika diaplikasikan.
Kekomprehensifan Islam dalam mencakup segala aspek kehidupan tidak diragukan lagi, termasuk aspek politik. Hal ini diakui oleh Dr. Schat. Dia mengatakan bahwa Islam dipahami bukan sekedar agama. Islam juga telah menggambarkan teori-teori hokum dan politik. Dia menambahkan, dari sejumlah pendapat menyatakan bahwa Islam adalah tatanan peradaban yang komplit, mencakup agama dan Negara secara bersamaan (Lihat The Encyclopedia of Social Science).
Jadi dapat disimpulakan, bahwa politik Islam adalah politik yang dilandaskan pada syari'at yang komprehensif dan menyeluruh dalam tataran konsep, metode oprasionalnya serta aplikasinya. Lalu bagaimana dengan fenomena pilitik di Indonesia? Apakah sudah sejalan dan inheren dengan apa yang telah digariskan oleh syari'ah, sehingga dapat dikatakan sebagai politik Islam?
Kita dapat melihatnya dari sikap dan kebijakan yang ditawarkan oleh partai-partai yang notebene berasaskan Islam atau kebijakan yang ditelurkan oleh wakil-wakil kita di DPR. Kalau kita mengatamati, sikap politik parpol-parpol Islam belum sepenuhnya islami dalam pandangan syari'I, yang mana sekedar apologi dalam berkampanye dengan melegitimasi Islam guna meluluskan kepentingan yang sebenarnya masih absurd. Tanpa mendiskriditkan parpol tertentu, dan muatan politis yang mereka usung( yang mana juga dipengaruhi berbagai factor), visi-misi "Islam" yang mereka usung, tidaklah memberikan efek positif yang signifikan bagi aspirasi masyarakat Islam saat ini, malah umat Islam Indonesia masih terkungkung dalam lembah marginal dan terpinggirkan dalam segala sector kehidupan.
Kemudian dari hal penentuan calon, tidak dipandang dari sisi kredibelitas dan kapabelitas individu calonnya, baik dari sisi kehidupan religiusitas, kecakapan atau skill dari si calon. Parpol-parpol Islam khususnya, dalam menentukan calon anggota legeslatif atau presiden, hanyalah berorientasi pada populeritas yang kosong. Sungguh ironi bukan?

Koalisi. Bagaimanakah Seharusnya?
Koalisi dalam politik, khususnya politik demokrasi, dipahami sebagai bentuk kerjasama non struktural antar kelompok atau partai guna membentuk kekuatan politis dengan tujuan mendongrak suara untuk kepentingan yang menjadi kesepakatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Koalisi dalam arti ini berbeda denga fusi (peleburan) beberapa partai atau kelompok yang mempunyai corak sama dalam satu wadah, seperti pada masa orde baru dengan meleburkan beberapa partai Islam dalam satu wadah yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Jadi, kolaisi merupakan kontruksi kerjasama tersendiri, yang mana dari masing-masing struktur bekerja sama dengan satu kepentingan, dengan cara menggalang suara sebanyak-banyaknya (tanpa memandang muatan-muatan masing-masing, karena memang ada satu atau dua titik kesamaan).
Sudah lazim dalam konsep demokrasi, bahwa sebuah keputusan dipengaruhi dan ditentukan oleh otoritas suara terbanyak. Jadi tidak heran, kalau suatu keputusan yang timpang sekalipun dapat di-gol-kan. Lalu, ketika suara-suara yang didapatkan partai minim, tak ada cara lain kecuali menggalang dukungan dari partai-partai yang mempunyai kepentingan sama untuk membentuk koalisi, sehingga keputusan atau ketetapan yang menjadi kepentingn bersama itu mendapat kemenangan dalam parlemen atau pemilu.
Koalisi seperti ini sebenarnya rentan dan cenderung rapuh dalam system demokrasi multi partai, memandang kepentingan bersama ini sifatnya temporal dan sarat kepentingan serta tidak didasari dengan kepentingan bersama yang jelas dan terbuka. Coba saja kita lihat koalisi beberapa fraksi setelah pemilu 1999 yang popular dengan poros tengan waktu itu, yang mana agenda utamanya mengegolkan Gus Dur menuju singgasana istana. Kemudaian, dikarenakan kebijakan atau cara pandang Gus Dur dengan beberapa unsure dalam kualisi berbeda dan kadang bertolak belakang, malah berbalik arah menghujat dan menghantam posisi Gus Dur sebagai presiden, di samping konsep awalya juga absurd dan tidak transparan.
Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak pernah dikenal istilah koalisi. Namun ketika koalisi diartikan sebagai bentuk kerjasama antar kelompok guna mencapai tujuan bersama, maka memiliki arti sama dengan istilah tahaluf atau ikho' dalam terminology arab. Tahaluf sendiri adalah perjanjian kerjasama antar individu atau kelompok untuk saling bantu-membantu mewujudkan hal yang menjadi tujuan bersama. Kerjasama dalam Islam sering sekali direpresentasikan dalam bentuk koalisi persaudaraan atau perjanjian kontrak antar beberapa golongan. Namun konsep ini dipandang dari sisi kemaslahtan yang akan dicapai. Seperti ikatan persaudaraan antara komunitas Anshor dan Muhajirin pada awal sejarah pembentukan social-community di Madinah. Ikatan ini didasari dengan semangat taat (yang diproyeksikan dalam syari'at) dan menolak adanya kesenjangan social dengan cara menolong orang-orang tertindas. Imam Nawawi, mengungkapkan, " kualisi (antar kelompok) atas dasar ta'at pada Alloh dan menolong orang terindas, dan ikatan kerjasama persaudaraan, adalah hal yang baik." (Lihat "Fath Al-Baari". Ibnu Hajar Al-Asqolany. Vol 17. Maktabah Syamilah. Hal, 256).
Kemudian, dalam prespektif Islam sendiri, menjalin atau membentuk koalisi dengan partai-partai non-Islam (sekuler) tidak boleh, karena hal itu sama saja dengan mendukung dan menerima keputusan ala demokrasi barat yang berpijak pada suara mayoritas (meskipun menyimpang).( KH. Moch. Sa'id AR. Al-Imam fi Al-Intikhob Al-'Aam. Hal,12-13. Maktabah Al-Barokah. 2004) Namun, ketika memang kemaslahatan yang akan dicapai tidak bisa terwujud, kecuali dengan membentuk koalisi tersebut, maka dapat dibenarkan ketika dilakuakn sesuai kebutuhan dalam konteks daruratnya. Syaikh 'Izzuddin bin Abdissalam dalam bukunya 'Qowa'id Al-Ahkam' mengatakan:

"Terkadang diperbolehkan membantu sebuah kemaksiatan, bukan dari sisi kemaksiatan itu sendiri, melainkan karena maksiat itu adalah suatu perantara untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar." (Syaikh 'Izzudin bin Abdissalam.Qowa'id Al-Ahkam. Vol.1. hal, 87)

Imam Haromain mendasarkan pembahasan ini demi kemaslahatan menyeluruh bagi masyarakat Islam.( Imam Haromain. Ghiyats Al-Umam. Hal, 109)
Jadi koalisi beberapa partai dalam konteks politik, memandang ketentuan yang telah dipaparkan di atas boleh-boleh saja, asal memandang asas kemaslahatan yang akan dicapai dengan tetap berjalan pada rel yang telah digariskan oleh syari'at, dalam program atau kebijakan yang dibangun atas koalisi yang akan dicapai.
Dalam fenomena percaturan politik di Indonesia yang diwarnai dengan berbagai partai Islam, yang mana umat Islam, di sisi lain terpecah dalam beberapa friksi yang kadang sulit untuk disatukan, karena berbagai factor yang membelakanginya, perlu adanya formula yang bisa kembali menyatukan semangat wahdatul islamiyyah, guna mengangakat masyarakat Islam agar tidak dipinggirkan dalam pentas politik maupun social ekonomi, termasuk menjaga keeksisan Islam sendiri.



وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (المؤمنون :52)

Sesungguhnya umatmu ini, adalah umat yang satu, dan kami adalah tuhanmu sekalian, maka bertakwalah(kepadaku ). QS. Al-Mu'minun: 52
Memandang perlu adanya formula baru (sebagaimana wacana di atas) guna mengembalikan wahdatul islamiyyah untuk mencapai kemaslahatan bersama, mengembalikan umat Islam di Indonesia untuk menjadi kelompok yang mempunyai kekuatan dalam berbagai segi, dan memandang penyatuan masyarakat Islam, maka yang bisa dilakukan saat ini-mungkin-adalah kolaisi sebagai bentuk gradualisasi, menggalang kekuatan bersama untuk kemudian mengarah pada kesatuan yang sebenarnya. Jadi, ketika memang koalisi adalah solusi terbaik untuk tujuan di atas, kenapa tidak?
Namun, yang perlu perlu diperhatikan, harus ada sikap tranparansi dari beberapa partai dan perlu dilakukan peninjauan mendalam, ketika memang koalisi partai-partai Islam harus dilakukan, memandang hal ini adalah wilayah yang rentan dalam realita politik Islam di Indonesia. Dan hal ini juga memandang partai-partai Islam yang ada tidak bisa tidak, tetap dipengaruhi ideology dan muatan yang melatarinya, teruatama elite-elite partai yang memegang kendali.

SYURO


Ketika ayat ‘Syura’ (Q.S. Ali Imran/3 : 159) turun, Muhammad saw, mengetahui bahwa sistem syura telah menjadi suatu kewajiban yang include dalam tugas-tugas kerasulannya. Dia harus menjelaskan kepada masyarakat tanda-tanda yang diwahyukan kepada mereka (tentang bagaimana syura dilaksanakan). Dalam situasi demikian Muhammad saw. mampu menjelaskan relevansi nilai normatif syura dalam kehidupan sehari-hari umat kala itu dalam bentuk praksis.
Ayat al-Qur’an yang mewajibkan Rasulullah untuk menerapkan syura bukanlah ayat yang pertama tentang masalah itu; ayat tersebut telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang hal yang sama. Jika Q.S. Ali Imran/3 : 159 adalah ayat madaniyyah, maka ditemukan ayat syura yang lain dalam ayat Makiyyah. Perbedaan antar kedua jenis ayat ini didasarkan pada fakta bahwa ayat madaniyyah menegaskan kewajiban (obligator),sedangkan ayat Makkiyah tidak menjelaskannya.
Menjelaskan fenomena al-Qur’an seperti itu tidaklah sulit. Penjelasannya akan berawal dari persepsi tentang situasi Rasulullah dan umat Islam di Mekkah dan Madinah. Di Makkah, umat Islam adalah minoritas, mereka ditindas, dan seruan (kepada Islam) harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Situasi yang mereka hadapi menyebabkan mereka tidak bisa membangun institusi-institusi dengan otoritas atau kewenangan legislatif lain selain otoritas Tuhan.
Segala sesuatu berubah di Madinah, di mana umat Islam menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka menjadi kekuatan baru yang berusaha untuk membangun kembali kehidupan dari awal dengan fondasi yang baru, fondasi-fondasi yang didirikan berdasarkan wahyu. Rasul dan para sahabatnya mengembangkan rincian-rinciannya dan membuat legislasi yang didelegasikan Tuhan kepada Rasul dan umat Islam. Situasi di Madinah sudah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendirian lembaga-lembaga legislatif menurut tuntunan al-Qur’an, sehingga Rasul sendiri merasa mendapat mandat untuk membangun lembaga-lembaga tersebut, dan kondisinya sangat memungkinkan di periode Madinah. Maka, Rasulullah mendirikan lembaga legislatif tersebut sebagai respon terhadap al-Qur’an.
Selanjutnya Rasulullah membentuk lembaga legislatif berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa’/4 : 83. Pada Q.S. Ali Imran/3 : 159 mewajibkan Rasulullah untuk membangun institusi syura (lembaga legislatif), lalu Q.S. an-Nisa’/4 : 83, mengkhususkan bidang-bidang kegiatan lembaga ini, yang secara simultan mengkhususkan bentuk kegiatan atau tindakan mana yang harus diambil. Bidang-bidang kegiatan tersebut menyangkut masalah keamanan, ketertiban dan semacamnya. Dan bentuk tindakan yang diambil adalah merujukkan masalah-masalah yang muncul kepada Rasulullah dan Ulul Amri, sehingga dapat diselesaikan masalah-masalah itu sesuai dengan asas kepentingan umum (mashlahah ammah).
Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka kemaslahatan umum, dapat membantu memahami maksud ayat al-Qur’an sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi jika kamu menanyakan ketika al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. al-Maidah/5 ; 101-102)
Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan menjawab permintaan mereka. Al-Qur’an kemudian meminta mereka agar berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah yang memerlukan wahyu untuk menjawabnya.
Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak dapat membawa perkembangan dan perubahan.
Dalam banyak hal dan kesempatan, al-Qur’an mewajibkan Rasulullah untuk meminta saran kepada para sahabatnya, untuk memutuskan dengan mereka bagaimana mencapai kepentingan umum, dan untuk melaksanakan putusan tersebut tanpa menunggu wahyu. Dalam hal ini pernyataan Allah “Dan ketika kamu telah mengambil keputusan, bertawakallah kepada Alah” (Q.S. Ali Imran/3:159), berarti : laksanakan keputusan ini tanpa menunggu wahyu Allah .
Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam al-Qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadis, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi . Para pemikir politik modern mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman Rasulullah sampai zaman pertengahan.
Lembaga musyawarah itu sendiri memang pernah ada pada zaman Rasulullah, walau bentuknya berbeda-beda. Bahkan lembaga ini sudah ada sebelum Islam muncul di jazirah Arab. Pemikiran di sekitar konsep ini, dapat dijumpai di berbagai tempat, misalnya di Yunani dan Romawi Kuno. Pada zaman itu, gagasan tentang suatu pemerintahan republik atau demokrasi perwakilan timbul dan selalu hidup di berbagai negara-kota, dalam rangka menentang pemerintahan tiran di dalam negeri, dan dalam melawan despotisme Timur yang diwakili oleh Imperium Persia.
Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, dalam menjelaskan asbab an-nuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan Rasulullah ke Madinah.
Pembentukan kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan masyarakat Muslim adalah sesuatu yang menjamin pencapaian tujuan-tujuan legislatif, menurut ayat al-Qur’an “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan” (Q.S. asy-Syura/42:38). Pembentukan otoritas yang demikian memungkinkan ditempuhnya berbagai cara dalam menanggapi pertanyaaan-pertanyaan yang banyak yang diajukan oleh umat seraya berusaha untuk mengetahui dasar dan prinsip tentang fondasi-fondasinya yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan umat Islam di dunia.
Pembentukan sistem musyawarah (lembaga legislatif) merupakan salah satu masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia (umat Islam). Dan umat Islam sendiri punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya. Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan menjalankan pemerintahan dengan bijak.
Tak pelak lagi bahwa kekuasaan legislatif telah menjadi mainstream dalam kajian kritis tentang politik Islam kontemporer yang ingin menarik gerbong umat dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di langit. Institusi legislatif menjadi tempat orang-orang terpercaya untuk mengontrol kekuasaan eksekutif (penguasa sipil/kepala pemerintahan). Orang-orang terpercara tersebut memiliki kewenangan legislatif sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4:83 :”Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan mereka yang memiliki otoritas (ulu al-amr) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya”.
Orang-orang yang disebut dalam al-Qur’an “orang-orang yang memiliki otoritas” atau “orang-orang yang berwenang” (those in authority) adalah orang-orang yang berada disekitar Rasul. Institusi Legislatif ini memiliki hak untuk meninjau masalah-masalah dan menarik kesimpulan hukum dalam kasus-kasus tersebut dengan metode (thariqah) interpretasi atas teks (nash) dengan mempertimbangkan pada kemashlahatan atau kepentingan umum (mashlahah ammah).

Lembaga Legislatif dan Demokrasi
Lembaga legislatif sebagai penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah dimuali perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2) dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya, apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura (legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? siapa yang fit and proper (layak dan patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’?
Kontroversi di atas muncul, pertama-tama, sebagaimana dikatakan Hamka (1981), karena al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa fungsi dan tugasnya. Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolut .
Faktor kedua adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini, bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim, tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator.
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. Ecara formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal” atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk. Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi penguasa.
Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini – dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin - , timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan (yang menganut demokrasi-konstitusional parlementer) serta situasi politik di Indonesia sendiri, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis – meminjam istilah Fazlur Rahman, adalah suatu ketentuan agama. Lembaga syura itu sendiri memang tidak bisa dibantah oleh siapapun, sebagai perintah Allah dan Sunnah Rasul, tetapi bentuk dan sifatnya tidak dijelaskan secara rinci. Dan perinciannya menunggu pemikiran-pemikiran lanjutan dari para pemikir politik Islam kontemporer yang lebih cerdas, jernih dan bijak.


Referensi
 Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta : Paramadina, 2002.
 Khalaf-Allah, Muhammad, “Kekuasan Legislatif” dalam Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta : Paramadina, 2003.
 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973.

Senin, 08 Juni 2009

JIHAD MENURUT ISLAM


Jihad kembali menjadi kosa kata populer dalam kehidupan kita belakangan ini. Konotasinya tetap sama; sebuah kekerasan fisik, pembantaian, pembunuhan dan teror. Kasus Maluku, Poso dan Afghanistan adalah beberapa contoh paling riil dari pemaknaan jihad dengan konotasi seperti itu. Ketika ia disebut orang, maka yang segera muncul dalam kesadaran pikiran publik adalah bentuk-bentuk kekerasan fisikal, sweeping, perang. Meski telah masuk dalam kosa-kata Indonesia, tetapi ia masih memiliki makna dalam bahasa Arab dengan segala nuansa kebudayaannya. Maka, ketika ia disebut, yang muncul dalam bayangan mata publik adalah orang-orang yang berpakaian jubah putih, sorban berwarna putih atau hijau, pedang yang panjang dan berjenggot. Semuanya khas orang Arab Badawi. Personifikasinya yang paling menonjol dewasa ini ditampilkan oleh Osamah bin Laden. Lebih dari itu, karena kata jihad banyak dijumpai dalam al-Qur'an, maka ia juga memiliki seluruh makna sakralitas keagamaan.
Kebudayaan Arab itu lalu menjadi sakral, sesakral agama. Masyarakat kita terbius oleh pikiran-pikiran ini dan tidak mampu lagi membedakan mana wilayah kebudayaan yang profan dan mana wilayah agama yang sakral. Agama (Islam) telah ditafsirkan oleh kebudayaan Arab. Kata jihad kini telah memiliki makna yang khusus dan hampir tidak memiliki makna lain kecuali, perang suci, holy war. Ini, bagaimanapun, merupakan sebuah reduksi dari arti jihad tersebut, bahkan bisa menyesatkan. Jihad dalam al-Qur'an Al-Qur'an menyebut kata jihad dalam sejumlah ayat. Kurang lebih 41 ayat yang tersebar dalam Mushaf al-Qur'an. Secara bahasa (etimologi) ia berasal dari kata "juhd" atau "jahd". Arti leterernya adalah kesungguhan, kemampuan maksimal, kepayahan dan usaha yang sangat melelahkan. Dari kata ini juga terbentuk kosa-kata "ijtihad".
Tetapi yang terakhir ini lebih mengarah pada upaya dan aktifitas intelektual yang serius dan melelahkan. Dalam terminologi sufisme juga dikenal istilah "mujahadah", sebuah usaha spritual yang intens, bahkan mungkin sampai pada tingkat ekstase. Orang yang berjuang di jalan Allah dengan sungguh-sungguh disebut mujahid atau mujahidin untuk orang banyak. Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan. Pada umumnya tujuan jihad adalah kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian. Menurut Fakhr al-Din al-Razi, jihad diarahkan untuk menolong agama Allah, tetapi bisa juga diartikan sebagai perjuangan memerangi musuh (Tafsir al Kabir, V/39).
Pada sejumlah ayat yang lain, jihad mengandung makna yang sangat luas, meliputi perjuangan dalam seluruh aspek kehidupan. Jihad adalah pergulatan hidup itu sendiri dan tidak semata-mata perang dengan pedang atau mengangkat senjata terhadap orang-orang kafir atau musuh. Bahkan ada ayat jihad yang diarahkan terhadap orang-orang kafir, tetapi tidak bermakna memeranginya. Al-Qur'an mengatakan: "Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (al-Qur'an) dengan jihad yang besar" (QS. Al-Furqan, 52). Ayat ini termasuk Makiyyah (diturunkan sebelum hijrah). Sepanjang sejarah kehidupan Nabi di Makkah, beliau tidak pernah melakukan perang terhadap orang-orang kafir dan kaum musyrik, meski ayat ini secara eksplisit menyebutkannya.Terhadap tekanan-tekanan mereka kepada Nabi saw dan kaum muslimin, beliau justru mengatakan: "Ishbiru fa inni lam u'mar bi al qital" (bersabarlah kalian, karena aku tidak diperintah untuk berperang). Kata ganti pada "bihi" dalam ayat tersebut
menurut Ibnu Abbas merujuk pada al-Qur-an. Ini berarti :"berjihadlah dengan al-Qur'an".
Dengan begitu perintah berjihad terhadap orang-orang kafir tidak dilakukan dengan menghunus pedang, melainkan mengajak mereka dengan sungguhsungguh agar memahami pesan-pesan yang ada di dalam al-Qur'an. Jamal al Qasimi, ketika menafsirkan ayat ini, mengatakan: "Hadapi mereka dengan argumen-argumen, bukti-bukti dan ajak mereka memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah serta kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh" (Mahasin al Ta'wil, XII/267). Dihubungkan dengan Q.S. al Nahl, 125, tentang dakwah (ajakan kepada Islam), maka, jihad diperintahkan dengan cara-cara "hikmah (ilmu pengetahuan), tutur kata/nasehat yang baik dan berdiskusi/debat. Pada surat Luqman, 15, terdapat kata jihad dengan arti bukan perang. "Dan jika keduanya ber-'jihad' terhadapmu agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan 'ma'ruf' (kebaikan sesuai tradisi)" (Q.S. Luqman, 15, baca juga Q.S. al 'Ankabut, 8). Jihad pada ayat ini tidaklah berarti perang. Ibnu Katsir menafsirkan kata jihad dalam ayat ini dengan ungkapan "Jika keduanya sangat berkeinginan..." (in harashaa 'alaika kulla al hirsh) (Tafsir Ibnu Katsir, III/445). Pada surat al 'Ankabut 'jaahadaaka' ditafsirkan oleh Ibnu Katsir dengan "haradhaa 'alaika" (keduanya mendesak kamu). Uraian di atas menunjukkan bahwa jihad dalam al-Qur'an mengandung makna perjuangan moral dan spiritual. Pada
masa klasik Islam, pemaknaan jihad seperti ini pernah populer. Para pemikir muslim post-tradisional juga memperkenalkan kembali makna jihad ini dalam tulisan-tulisan mereka.
Jihad-Perang
Meskipun demikian tidak dapat ditolak bahwa jihad dalam al-Qur'an juga bisa berarti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan bersenjata, utamanya terhadap orang-orang "kafir". Sebenarnya ada sejumlah kata dalam bahasa Arab yang paling spesifik untuk menunjuk arti perang, meski dengan nuansa yang berbeda. Antara lain qital, harb, siyar dan ghazwah. Ada sejumlah ayat al-Qur'an yang berbicara tentang perang terhadap orang-orang kafir, baik dengan kata jihad sendiri maupun dengan kata qital. Misalnya :"Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.
Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui" (QS. Al Taubah, 41, atau surah al Tahrim, 9 dan lain-lain). Hampir seluruh ayat-ayat perang diturunkan sesudah Nabi saw hijrah ke Madinah atau yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyah. Melihat hal ini, pemaknaan jihad dengan perang tampaknya tidak lepas dari latarbelakang sejarah perkembangan Islam sendiri. Ia muncul ketika Islam bergerak ke arena pergulatan politik dalam komunitas muslim dan non-muslim. Akan tetapi jihad perang pada masa Nabi di Madinah lebih dilakukan dalam kerangka membela diri dari agresi dan kekerasan. Dalam banyak ayat, perang bukanlah inisiatif Islam. Al-Qur'an melarang kaum muslimin memerangi orang-orang yang tidak melakukan penyerangan atau pengusiran. "Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain mengusirmu".(QS. Al-Mumtahanah, 9). Sebaliknya terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu, al-Qur'an menganjurkan untuk berlaku baik dan adil. "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil" (QS. Al Mumtahanah, 8).
Jihad-perang kemudian mengalami perkembangan yang semakin ekspansionis, ketika terjadi pembagian wilayah-wilayah kekuasan politik, yang dalam teori politik Islam dikenal dengan wilayah Dar al-Islam, yakni wilayah di mana kaum muslim berkuasa dan hukum Islam diterapkan, dan Dar al-Harb, yakni wilayah di mana orang "kafir" dan musuh-musuh kaum muslimin berada. Dalam teori politik Islam klasik, Dar al-Islam menunjuk pada kumpulan wilayah yang bersatu dalam suatu negara tunggal dan diperintah oleh satu kekuasaan dalam mana hukum-hukum syari'ah diberlakukan. Ini menunjukkan pula pada konsep "negara universal" yang tidak mengenal batas-batas teritorial. Kriteria kewarganegaraan ditentukan berdasarkan agama. Orang-orang kafir dalam wilayah kekuasaan politik Islam dipandang sebagai "orang-orang asing". Adalah menarik bahwa jihad dengan pemaknaan politik dan militeristik ini muncul dalam hampir di semua kitab-kitab hadis. Dominasi makna ini juga terdapat dalam buku-buku fiqh klasik. Kata jihad dengan pengertian ini seringkali juga disambung dengan 'fisabilillah' (di jalan Allah). Dan kata ini ('fi sabilillah') oleh para ahli fiqh juga telah diberi makna yang sama dengan jihad itu sendiri. Empat orang imam pendiri mazhab fiqh sepakat memberi makna "sabilillah" dalam ayat al-Qur'an yang menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat misalnya, dengan "al-ghuzzah", yakni para prajurit yang berperang melawan orang-orang kafir. Pemaknaan 'sabilillah' dengan 'sabil al-khair' (jalan kebaikan/aktivitas kemanusiaan) baru diterima akhir-akhir ini.
Begitulah, jihad dengan wacana politis dan militeristik telah mendominasi wacana-wacana keislaman. Bahkan sebagian ahli tafsir klasik tampaknya telah terpengaruh oleh perspektif ini. Al-Suyuti misalnya dalam Tafsir Jalalain, telah menjadikan ayat-ayat jihad yang juga populer dengan sebutan "ayaat saif" (ayat-ayat pedang) atau "ayaat al qital" (ayatayat perang) yang berisi perintah memerangi orang-orang kafir tanpa syarat sebagai ayat-ayat yang membatalkan/menghapus (nasikh) ayat-ayat damai. Gagasan ini tampaknya berhubungan erat dengan konsep kebudayaan Arab pra-Islam di mana perang antar suku diperkenankan. Perang antar-suku kini diganti dengan perang terhadap komunitas non-muslim. Dari sini agaknya benar jika ada orang yang berpendapat bahwa beberapa waktu sesudah Nabi saw wafat, paling jauh tiga abad sesudah itu, proses peradaban Islam mengalami degradasi, di luar sejumlah kemajuan-kemajuan yang cemerlang.
Kecenderungan terminologi jihad tersebut diikuti pula oleh para pemikir politik muslim kontemporer dengan cap aliran "fundamentalis" atau radikalis (sebagian orang menyebutnya Islam garis keras), seperti Hasan al-Banna, pendiri al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir dan para muridnya antara lain Sayyed Quthb. Demikian pula Abu al 'Ala al Maududi, pendiri Jama'at Islamiyah, Pakistan. Al-Banna menulis buku Risalah al-Jihad. Isinya sarat dengan pandangan tentang keharusan bagi kaum muslimin memerangi orang-orang kafir. Sayyed Quthb dalam Ma'alim fi al-Thariq, lebih menekankan jihad dalam pengertian politis. Katanya : "Jihad adalah perjuangan politik revolusioner yang dirancang untuk mengalahkan musuh-musuh Islam, sehingga memungkinkan kaum muslimin menerapkan syari'ah yang selama ini diabaikan dan ditindas oleh Barat dan rezim-rezim opresif di dunia muslim sendiri". Quthb menambahkan bahwa jihad diarahkan untuk membebaskan individu-individu dari dominasi politik non-muslim. Dia menolak pembatasan pengertian jihad sebagai perang defensif, seperti pandangan muslim modernis. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Al-Maududi. Ia menulis pandangan-pandangannya mengenai ini dalam dua bukunya Al-Jihad fi al-Islam dan Jihad fi Sabilillah.
Transformasi Jihad Berbeda dengan pandangan di atas, para reformis muslim berusaha mengembalikan jihad dalam pengertian moral dan spiritual. Paradigma universalisme Islam, menurut mereka lebih menekankan visi-visi moralitas dan spiritualitasnya. Transformasi makna jihad seperti ini juga dilatarbelakangi oleh sebuah kenyataan bahwa adalah kemustahilan bagi kaum muslimin dewasa ini untuk merealisasikan tujuan-tujuan ideal mereka; mendirikan negara Islam universal. Jihad dengan pengertian perang, meskipun masih tetap diakui, akan tetapi ia bersifat kondisional, dan dalam rangka mempertahankan diri serta bukan an sich dalam kerangka agama. Sayyed Ahmad Khan misalnya menawarkan penafsiran jihad jenis ini. Dalam pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur'an, ia menyampaikan pandangannya bahwa jihad adalah wajib bagi kaum muslimin hanya dalam kasus penindasan dan penganiayaan yang nyata.
Pernyataan Ahmad Khan ini jelas memperlihatkan suatu pandangan baru di mana jihad ditafsirkan sebagai upaya-upaya serius untuk menegakkan keadilan dan kesalehan. Dan dengan mengingat bahwa prinsip dasar Islam adalah kesetaraan dan keadilan manusia, maka transformasi juga agaknya perlu dilakukan terhadap terma-terma "kafir" dan "musyrik", ketika ia menjadi terma-terma sosiologis-politis. Kafir atau musyrik dalam pengertian ini, bukan lagi berarti orang yang tidak beragama Islam dan penyembah berhala atau manusia, melainkan pelaku-pelaku penindasan, penganiayaan dan perusakan terhadap manusia, alam dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Berangkat dari sini, maka jihad tidak lagi diarahkan terhadap penganut agama non Islam, tetapi terhadap para pelaku penindasan, kezaliman dan kekerasan. Prinsip kebebasan berkeyakinan yang dinyatakan secara tegas oleh al-Qur'an jelas menafikan penyerangan terhadap orang-orang beragama atau berkeyakinan siapapun dia, Yahudi, Nasrani atau lainnya. Sejarah Nabi saw di Madinah juga menjadi bukti paling nyata atas prinsip ini.